Gambelan Jegog adalah
alat musik yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar. Mendengar kata
Jegog tentu tidak lepas dari nama seorang seniman jegog asal Jembrana
yakni Ketut Suwentra ( 64 ) atau dikenal dengan nama Pekak Jegog.
Melalui Yayasan Suar Agung yang dibinanya, Jegog telah berkali – kali
tampil ke luar negeri.
Kami berkesempatan berbincang langsung sehari setelah
Festival Budaya Jembrana berakhir, di kediamannya Kelurahan
Sangkaragung, Jembrana. Berpenampilan sederhana, ia berkisah soal seluk
beluk kesuksesan Jegog melanglang buana.
“Konon yang menciptakan kesenian ini Kiyang Linduh dari dusun Sebual,
Jembrana. Saya mengenal Jegog ketika saya hampir selesai sekolah di
sekolah Kokar Denpasar tahun 1970, Sejenis sekolah SMA atau guru
Karawitan. Menjelang akhir sekolah saya dikirim ke Osaka ( Jepang )
menjadi seniman Gong Kebyar dalam rangka expo budaya seluruh dunia. Dari
situ saya mendengar Jegog diputar di pavilium, disana saya beranggapan
Jegog harus bangkit “ , paparnya dengan suara berat.
Berawal dari sana, ia lantas memperolah kenalan wanita jepang . Wanita
tersebut akhirnya dijadikannya istri sekaligus yang mendukung Jegog
semakin berkembang, begitu juga pihak keluarga istrinya. Sangat membantu
pengenalan Jegog di negeri Sakura. Pementasan Jegog pertama kali
tampil di luar negeri , tepatnya di Saporo , Jepang pada tahun 1981.
Inspirasi dan motivasi Pekak Jegog tak henti mengalir untuk memoles
Jegog tumbuh kreatif. Ia berlanjut memunculkan sebuah karya seni dari
sebuah bahan skripsi yang ia buat ketika melanjutkan sekolah di ASTI (
sekarang ISI ) yakni membuat sebuah garapan tari pengiring. Tarian
tersebut merupakan Tari Makepung yang dipentasakan ketika semacam
Pesta Kesenian Bali tahun 1984. Semenjak itu Gambelan Jegog semaikn
mencuat. Diberbagai even kenegaraan nasional maupun international Jegog
mendapat sambutan baik.
“Tari Mekepung yang saya pakai ujian di ASTI diminta oleh bupati
Jembrana untuk tampil dalam sebuah even nasional, kala itu bapak bupati
Ardana. Saya poles tarian itu menjadi 150 kru sapi, lapangan alun –alun
Dauh Waru penuh waktu itu, dari situlah Jegog mulai muncul “, ujar suami
dari Makita Kazuka.
Yayasan Suar Agung
Akhirnya pada tanggal 3 Mei 1984 terbentuklah sebuah Yayasan yang
berawal atas adanya Sekehe Demen yang sebelumnya telah ada. Pemberian
nama Suar Agung pun tercetus langsung dari Pekak Jegog. Nama tersebut
berawal dari garapan sebuah tari. Suar yang artinya sinar dan Agung
artinya maha agung.
Hingga kini Yayasan Suar Agung telah memiiliki 120 anggota yang terbagi
dalam tiga kelompok yakni, kelompok anak – anak, remaja, dan werde (
tua- tua ). Mereka sudah sering kali tampil di berbagai ajang seni
budaya, di dalam maupun luar negeri. Bahkan dalam pembukaan piala word
cup di Perancis tahun 1998 Jegog Suar Agung ikut adu kebolehan dalam
sebuah even akbar tersebut.
Selama pentas diluar negeri, hampir tidak ada kesulitan yang ditemuinya
bersama kru lain yang berjumlah 28 sampai 30 personel. Begitu juga
perlengkapan tabuh yang dibawa, semua telah di atur sedemikian rupa atas
peran serta pihak seponsor dan ofisial.
“ Dalam hal beradaptasi kami semua baik – baik saja di luar negeri.
Yang jadi soal hanya ketika tiba disana, persoalan makanan sangat sering
kami alami. Menemui nasi agak sulit, Kita hanya makan roti, mana
kenyang “, ujarnya lirih.
Jegog Suar Agung terakhir kali tampil ke luar negeri ketika pasca
tsunami. Mereka menghibur para Korban yang terkena musibah di bagian
wilayah Sendae, Jepang. Selama tampil para pengunjung menyambut jegog
penuh antusias.
Bahan Baku
Pekak Jegog menganggap Gambelan Jegog merupakan hiburan yang sangat merakyat dan mudah dicerna.
“Musik ini sangat menyentuh hati. Begitu dia berbunyi sudah bergetar,
karena speednya bambu. Tempo inilah seperti detak jantung, makanya dunia
menyukai “, ujar bapak lima anak ini.
Dalam hal menjaga kwalitas suara bambu, biasanya Pekak Jegog
membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengolah bambu agar bisa menghasilkan
kwaltas suara yang baik. Biasanya bambu yang telah didapat terlebih
dahulu disendarkan dalam ruang teduh agar proses pengeringan murni dari
udara bebas, karena jika terkena sinar langsung akan merusak permukaan
bambu menjadi retak. Kwalitas suara yang didapat pun kurang bagus.
Dirinya telah mempersiapkan beberapa lahan pribadinya untuk melakukan
reboisasi beberapa jenis bambu untuk antisipasi kelangkaan bambu.
Mengingat kendala bahan baku sudah dirasakannya mulai susah di temui,
terutama bambu ukuran besar. Kerapkali ia sampai datang ke perbukitan di
daerah Tabanan untuk memperoleh bambu kwalitas baik.
“ Saya degungkan kepada pemerintah untuk melestarikan sang bambu juga,
jangan Jegognya saja yang dilestarikan, kalau Jegog tanpa bahan baku ya
repot ? Nelayan juga pakai bambu, makanya sekarang harga kemahalan ”,
keluhnya.
Pekak Jegog menambahkan, daya tahan bambu dalam setiap gambelan
memiliki tingkat kerusakan yang berbeda. Jika gambelan sering
dipertunjukan dalam sebuah tari –tarian akan memperpanjang usia bambu
yang rusak. Dan apabila Jegog di pentaskan untuk Mebarung usia bambu
hanya sanggup bertahan sekitar empat kali pertunjukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Pekak Jegog, Mengenalkan Jegog ke Mancanegara"
Posting Komentar